GERAKAN AKU CINTA RUPIAH YANG GAGAL ATASI KRISIS EKONOMI 1998

tirto.id – Nilai tukar rupaih terhadap dolar AS dalam beberapa waktu terakhir terus menurun. Bahkan, pada Selasa (4/9/2018) malam, nilai tukarnya mencapai level Rp15.000 per dolar. Meski kembali menguat menjadi Rp 14.959 pagi tadi pukul 11.00. Karena kondisi ini, banyak pihak melayangkan kritik kepada pemerintah. Salah satunya dari bakal cawapres Sandiaga Uno yang menyatakan penurunan nilai rupiah bisa berakibat pada kelangkaan lapangan kerja. Sehingga, menurutnya, pemerintah wajib segera mengambil langkah konkret untuk mengatasinya. Kondisi ini tentu saja membuat sebagian masyarakat mulai panik. Salah satunya karena kemungkinan naiknya harga BBM. Meski begitu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan pelemahan mata uang rupiah terhadap dolar AS tidak akan memengaruhi harga BBM bersubsidi.

Ia pun membantah apabila pemerintah sempat memasukkan rencana menaikkan harga BBM bersubsidi tersebut sebagai opsi untuk menekan defisit neraca transaksi berjalan. “Di dalam RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) 2019, sudah kami sampaikan kebijakan mengenai subsidi yang tetap sama,” kata Sri Mulyani di Kompleks Parlemen, Jakarta pada Selasa (4/9/2018). Sri Mulyani juga menegaskan kondisi perekonomian Indonesia masih bagus dan meyakinkan masyarakat agar tak panik, terlebih penguatan dolar AS lebih disebabkan karena faktor eksternal (luar negeri).

Menurutnya, saat ini pemerintah masih terus mengupayakan berbagai cara guna memperkuat pondasi perekonomian. “Yang kami lakukan sekarang langsung pada fondasi ekonominya. Mana faktor yang dilihat oleh pasar sebagai titik lemah, kami perkuat,” ungkap Menkeu kepada Tirto. Kondisi perekonomian dewasa ini mengingatkan pada momen krisis moneter yang melanda Indonesia mulai Juli 1997.

Kala itu perekonomian Indonesia tak siap menghadapi gejolak moneter. Jumlah utang jangka pendek dalam bentuk dolar AS membengkak. Jumlahnya mencapai 30-40 miliar dolar AS. Sistem perbankan Indonesia yang mengelola utang itu amburadul. Tak ayal ketika krisis moneter melanda, Indonesia dengan cepat terpuruk. Pada Juli 1997, nilai tukar rupiah berada di kisaran Rp2.500 per dolar AS. Pada Oktober nilainya telah merosot jadi Rp4.000 per dolar AS. Lalu, pada awal 1998, rupiah kembali melorot hingga Rp6.000 per dolar AS.

“Bursa saham Jakarta hancur. Hampir semua perusahaan modern di Indonesia bangkrut, tabungan kelas menengah lenyap, dan jutaan pekerja diberhentikan dari pekerjaan mereka,” tulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2008: 650). Pemerintah Soeharto bukannya tak berbuat sesuatu. Namun kebijakan-kebijakan yang diambil tak efektif. Perjanjian-perjanjian dengan IMF sejak Oktober 1997 macet.