Dalam debat keempat Pilpres 2024, Minggu (21/1) yang menampilkan kandidat atau calon wakil presiden, beberapa istilah yang dikemukakan sempat menjadi sorotan. Salah satunya adalah greenflation. Lantas apa makna greenflation?
Mengutip Philonomist, greenflation merujuk pada kenaikan harga material mentah (raw material) dan energi yang digunakan untuk melakukan transisi hijau. Kata greenflation (inflasi hijau) semakin sering terdengar lantaran semakin banyak negara-negara yang memiliki komitmen untuk menjaga lingkungan dengan melakukan transisi penggunaan energi yang lebih ramah lingkungan.
Untuk merealisasikan komitmen tersebut, negara terkait membutuhkan bahan material mentah dan energinya. Namun, harga bahan material dapat berfluktuasi dan bergantung pada beberapa faktor tertentu. Selain itu, inflasi hijau juga dapat terjadi kala harga bahan-bahan untuk transisi energi lebih mahal. Alhasil, negara tersebut harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli bahan-bahan tersebut.
Selain Philonomist, Bank Sentral Eropa (ECB) juga sempat mengangkat isu inflasi hijau ini. Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam pidato Anggota Dewan Eksekutif ECB Isabel Schnabel yang bertajuk A new age of energy inflation: climateflation, fossilflation and greenflation pada Maret 2022.
Mengutip laman resmi ECB, Isabel menyebutkan konflik yang terjadi di Ukraina turut mendorong lonjakan harga komoditas dan mengerek inflasi di banyak negara ke tingkat tertinggi dalam lebih dari 40 tahun. Hal ini pun menegaskan pentingnya untuk mempercepat transisi menuju energi terbarukan. Namun, harga yang harus dibayar untuk melakukan tindakan ramah lingkungan tersebut.
Dia pun menyebutkan bahwa dalam proses membangun perekonomian yang lebih berkelanjutan, negara akan menghadapi era baru inflasi energi dengan tiga guncangan berbeda tetapi saling terkait. Pertama, climateflation atau inflasi iklim yang terjadi akibat perubahan iklim itu sendiri. Kedua, fossilflation atau inflasi fosil yang mencerminkan dampak buruk ketergantungan pada sumber energi fosil.
Ketiga adalah greenflation atau inflasi hijau. Menurutnya, inflasi ini lebih tidak kentara. Banyak perusahaan yang mengadaptasi proses produksinya dalam upaya mengurangi emisi karbon. Namun sebagian besar teknologi ramah lingkungan memerlukan sejumlah besar logam dan mineral, seperti tembaga, litium, dan kobalt, terutama selama masa transisi.
Apa pun jalur dekarbonisasi yang akan diambil, teknologi ramah lingkungan akan menjadi bagian terbesar dari pertumbuhan permintaan sebagian besar logam dan mineral di masa mendatang. Adapun seiring dengan meningkatnya permintaan, pasokan menjadi terbatas dalam jangka pendek hingga menengah, dan biasanya diperlukan waktu 5 hingga 10 tahun untuk mengembangkan tambang baru.
Ketidakseimbangan antara meningkatnya permintaan dan terbatasnya pasokan menjadi alasan mengapa harga banyak komoditas penting meningkat secara signifikan dalam beberapa waktu terakhir.
Perkembangan ini menggambarkan paradoks penting dalam perjuangan melawan perubahan iklim: semakin cepat dan mendesak peralihan menuju perekonomian yang lebih ramah lingkungan, maka akan semakin mahal pula biaya yang harus dikeluarkan dalam jangka pendek.
Sejauh ini, dampak inflasi hijau terhadap harga konsumen akhir jauh lebih kecil dibandingkan inflasi fosil. Namun seiring semakin banyaknya industri yang beralih ke teknologi rendah emisi, inflasi hijau juga dapat memberikan tekanan pada harga berbagai produk selama masa transisi. (diolah dari berbagai sumber)