CROSS BORDER INSOLVENCY

Masalah dalam kepailitan lintas negara( cross border insolvency)

Perbedaan dalam undang-undang kepailitan nasional memiliki konsekuensi penting dalam kasus perusahaan dengan aset dan kewajiban di berbagai negara. Jika cabang perusahaan yang terletak di satu negara menjadi bangkrut, haruskah kreditur di negara itu diizinkan untuk memulai proses kebangkrutan sementara perusahaan secara keseluruhan masih mampu membayar? Jika perusahaan secara keseluruhan bangkrut, haruskah ada proses terpisah di berbagai negara tempat cabangnya berada? Pendekatan ini disebut sebagai “prinsip teritorial”. Alternatifnya, haruskah ada satu prosedur, yang berbasis di negara tempat kantor pusat atau tempat pendirian berada? Pendekatan ini disebut sebagai “prinsip universalis”. Jika ada satu likuidator atau administrator, atau satu untuk setiap negara tempat perusahaan memiliki tempat usaha atau aset? Apakah likuidator atau administrator yang ditunjuk di suatu negara dapat merebut kembali aset yang secara curang dialihkan oleh debitur ke negara lain? Tinjauan undang-undang nasional menemukan bahwa negara-negara mengambil posisi yang berbeda dalam masalah ini.

Dari sudut pandang praktis, keragaman pendekatan ini menciptakan ketidakpastian yang cukup besar dan merusak penerapan undang-undang kepailitan nasional yang efektif di lingkungan di mana kegiatan lintas batas menjadi komponen utama bisnis perusahaan besar. Karena alasan ini, sejumlah prakarsa telah dilakukan untuk meningkatkan pengakuan atas proses dan kerja sama asing di bidang ini. Misalnya, pada bulan November 1995 teks Konvensi Uni Eropa tentang Prosedur Kepailitan diadopsi. Konvensi ini menetapkan aturan-aturan untuk penanganan kepailitan di mana debitur memiliki pendirian atau aset di lebih dari satu negara, termasuk aturan tentang pilihan hukum, kerja sama antar pengadilan, dan pengakuan keputusan dan perintah peradilan asing. Konvensi tersebut belum diratifikasi oleh semua anggota dan prospek untuk berlakunya masih belum pasti. Selain itu, Komite Hak Kreditur dan Kepailitan Asosiasi Pengacara Internasional (dikenal sebagai Komite J) telah mengembangkan Konkordat Kepailitan Lintas Batas, yang juga dirancang untuk memberikan kerangka kerja sama dalam kepailitan multiyurisdiksi.

Perkembangan yang sangat penting di bidang ini adalah Model Law on Cross-Border Insolvency tahun 1997 oleh Komisi PBB untuk Hukum Perdagangan Internasional (UNCITRAL), yang dinegosiasikan di antara lebih dari 40 negara yang mewakili spektrum luas sistem hukum yang berbeda. Salah satu fitur yang membedakan model hukum ini adalah bahwa ia mencoba untuk mencapai kerjasama yang terbatas namun efektif, kompatibel dengan semua sistem hukum dan, oleh karena itu, dapat diterima oleh semua negara. Tujuannya adalah untuk memastikan kerja sama dalam kasus kepailitan lintas batas melalui pengakuan keputusan asing dan akses likuidator atau administrator asing ke proses pengadilan lokal. Sebuah Catatan tentang Model Hukum, yang disediakan oleh Sekretariat UNCITRAL, merupakan Lampiran dari laporan ini.

 

Kesimpulan Pokok

 

Mengingat semakin pentingnya kebangkrutan lintas batas, langkah-langkah harus diperkenalkan untuk memfasilitasi pengakuan proses asing dan kerjasama dan koordinasi antara pengadilan dan administrator dari berbagai negara. Pengadopsian Model Law on Cross-Border Insolvency oleh negara-negara yang disiapkan oleh UNCITRAL akan memberikan sarana yang efektif untuk mencapai tujuan-tujuan ini.