DINASTI SOEKARNO, PETUGAS PARTAI DAN MASA DEPAN PDIP

 

Analisis Intelijen

Belakangan sedang ramai soal Romy Soekarno, putera Rachmawati Soekarnoputri, yang “gagal tapi berhasil” jadi anggota DPR-RI periode 2024-2029. Gagal kok berhasil? Soal ini memang “contradictio in terminis,” seperti sering terjadi dalam berbagai peristiwa politik.

Pembegalan demokrasi di Dapil VI Jatim berhasil menempatkan Romy di DPR-RI. Pembegalan ini bukan di tahap Pra-Pemilu (pendaftaran/penetapan caleg), tetapi di tahap Pasca-Pemilu (setelah penghitungan suara dan penetapan KPU).

Silahkan Anda lihat GRAFIS TERKAIT. Romy cuma dapat 51.245 suara maka gagal lolos ke Senayan. Perolehannya jauh dibawah kolega separtainya seniman Pulung Agustanto, yang dapat 165.869 suara. Pulung ini, yang juga adik dari Pramono Anung, berada di nomor urut dua dibawah pemilik suara tertinggi Dapil VI Jatim, M. Sarmuji (kader Golkar) yang punya 183.045 suara.

Tetapi Pulung tidak digeser. Yang digeser pertama justru Sri Rahayu yang punya 111.284 suara— kebetulan Sri pernah dituntut 3 tahun penjara atas sebuah kasus korupsi sewaktu jadi Ketua DPRD Malang 1999-2004. Tetapi, dibegalnya suara Sri ini masih tidak cukup untuk mengatrol Romy.

Maka berikutnya yang dibegal adalah Arteria Dahlan, yang perolehannya juga tidak meloloskan dirinya ke Senayan, karena cuma punya 62.242 suara— bagi Arteria sebetulnya nothing to lose, hitung-hitung nambah kredit di mata pemilik PDIP.

Jadi, sangat berbeda ya. Pembegalan bagi Sri Rahayu yang lolos ke Senayan, itu hal yang menyakitkan. Tetapi bagi Arteria Dahlan, yang memang gagal jadi anggota DPR-RI, pembegalan ini justru membahagiakan dirinya, karena seolah-olah bisa berbakti kepada dinasti Soekarno.

Soal siapa boleh menjadi anggota DPR-RI, ini memang wilayah prerogatif Ketum, baik di tahap Pra-, Tengah- dan Pasca-Pemilu. Masih ingat kan soal SISTEM KOMANDANTE yang mengeliminasi 6 kader PDIP yang SUDAH TERPILIH sebagai anggota DPRD Jateng di bulan Juni lalu? Mereka semua juga dipaksa mundur!

Masalah prinsipilnya saya kira ada pada aspek PENGHIANATAN TERHADAP KONSTITUEN (ie. rakyat pemilih). Yang memilih Sri Rahayu, Arteria Dahlan serta keenam caleg DPRD Jateng itu pasti terkesima, merasa dikhianati, merasa dibegal, karena yang mewakili mereka ternyata muka-muka lain yang asing.

Dan Arteria mengekspresikan SISTEM KOMANDANTE ini dengan sangat akurat: “Untuk melayani Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri beserta keluarganya.” Inilah tafsiran tepat dan benar apa yang dimaksud oleh Megawati Soekarnoputri tentang konsep PETUGAS PARTAI.

****

Konsep PETUGAS PARTAI di PDIP itu tidak melulu jelek sebetulnya. Tujuannya mau membangun loyalitas tegak lurus terhadap sang Ketum. Tetapi faktanya memang tidak melulu bagus juga. Sesuatu yang memang “contradictio in terminis.”

Sebab, pada prakteknya terjadi “L’État, c’est moi” atau “I am the state” seperti yang dirindukan oleh Raja Louis XIV di hadapan Parlemen Paris pada 13 April 1655. Baik Louis XIV maupun Megawati Soekarnoputri nampaknya merindukan kembalinya absolutisme kekuasaan seperti yang dimiliki raja-raja Eropa abad pertengahan, di era pra-Magna Carta (1215).

Absolutisme kekuasaan Megawati ini terlihat jelas dari berbagai upaya yang dilakukannya untuk mem-petugaspartai-kan Presiden Jokowi selama 9 tahun. Terutama di berbagai urusan jabatan seperti Wapres, Menteri, Kapolri, Panglima TNI, Kastaf Angkatan, Kepala BIN, dsb.

Tinggalkan Balasan