Kadang Megawati berhasil menekan Presiden Jokowi, kadang juga tidak. Maka itulah kita sering menyaksikan “Ratu PDIP” ini melecehkan marwah Presiden Jokowi dihadapan para kader PDIP.
Sampai akhirnya, menjelang Pemilu 2024, Presiden Jokowi menolak keinginan Megawati agar KOALISI BESAR [baca: bersatunya elit politik] yang telah capek-capek diupayakan oleh Jokowi sejak 2014, dan direncanakan agar berlanjut di periode 2024-2029, dipaksa mengikuti skenario dari “Ratu PDIP” ini.
Yang formulanya adalah: Capresnya harus dari PDIP, Cawapresnya terserah koalisi.
Jokowi jelas menolak. Sebab Jokowi tahu bakal Capresnya adalah Ganjar Pranowo. Yang kalah jauh kualitas leadershipnya dibandingkan Prabowo Subianto. Lagipula Ganjar adalah sosok PETUGAS PARTAI yang 100% “Yes, Mam”— terbukti Ganjar tunduk atas perintah Megawati agar Piala Dunia U-20 digagalkan. Itu terjadi di bulan Maret 2023, saat Jokowi sedang bermanuver mati-matian supaya paslon “Prabowo-Ganjar” bisa terwujud.
Ganjar bukannya tidak tahu bahwa PDIP adalah segalanya bagi Megawati, sedangkan bagi Jokowi bangsa dan negara Indonesia diatas segalanya. Faktanya, Ganjar memilih kepentingan PDIP diatas kepentingan bangsa dan negara Indonesia.
Sebaliknya Jokowi juga tahu PETUGAS PARTAI model Ganjar Pranowo nantinya akan selalu berada dalam “sandwich position” diantara kepentingan KOALISI BESAR dan kepentingan Megawati-PDIP. Itu sebabnya Jokowi melihat Ganjar lebih tepat di posisi RI-2 (ban serep)
Leadership Ganjar, bila dijadikan RI-1, bakalan plintat-plintut. Ini akan bikin repot keberlanjutan pembangunan dalam mewujudkan VIE 2045, yang sangat membutuhkan figur pemimpin kuat untuk MENGENDALIKAN KOALISI BESAR [baca: menjaga persatuan para elit politik] yang sudah dibangun dengan susah payah oleh Jokowi sejak 2014.
VIE 2045 tidak akan terwujud tanpa adanya KOALISI BESAR. Dan KOALISI BESAR tidak akan langgeng tanpa figur pemimpin kuat yang MAMPU MENGENDALIKAN-nya. Ini jelas bukan “maqom”-nya Ganjar Pranowo.
****
Sekarang dengan prinsip kepentingan DINASTI SOEKARNO digabungkan konsep PETUGAS PARTAI dibawah payung SISTEM KOMANDANTE, pertanyaannya adalah: PDIP mau kemana di Pemilu 2029 nanti?
Eksistensi suatu Parpol itu kan ujiannya ada di Pemilu, yang KPI-nya adalah berapa banyak “saham politik” (kursi) yang dimiliki di parlemen. “Saham politik” ini disebut juga “modal politik.”
Silahkan Anda perhatikan GRAFIS TERKAIT. Sebab, kita akan menganalisisnya melalui timeline panjang, yang terbagi kedalam tiga periode: 1996-2009, 2009-2019 dan 2019-2024. Ya, seperti menganalisis kinerja saham di pasar modal lah.
PERIODE 1996 – 2009
Perhatikan perolehan PDIP yang 33% kursi hasil Pemilu 1999. Inilah prestasi tertinggi yang dicapai Megawati Soekarnoputri, yang memang saat itu menjadi “central vote-getter” bagi PDIP. Citra politik Megawati memang seng ada lawan sejak perisitiwa “Kudatuli” di tahun 1996. Dia adalah simbol perlawanan kaum Reformis vs Orde Baru.
Karena Pilpresnya masih di MPR-RI, artinya “modal politik” hasil coblosan rakyat di TPS sudah diambil-alih oleh para elit politik untuk dimainkan, ternyata Megawati kalah, hanya jadi RI-2 saja. Inilah kegagalan pertama Megawati-PDIP dalam membangun koalisi politik!
Megawati yang naik ke kursi RI-1 gara-gara Presiden Wahid dipecat, ternyata kinerjanya dipersepsikan gagal oleh publik. Citra “silence is golden“ yang menjadi kekuatannya di fase perlawanan Reformasi, tidak cocok diterapkan di fase kepresidenannya. Kebanyakan bungkam, sehingga orang pada bingung apa maunya sang presiden.