KETIKA ROHANIAWAN BELAJAR MENULIS POLITIK

*”Gibran: MUSUH Sumpah Pemuda”*

 

Penulis: P. Peter Tan SVD

Gibran Rakabuming Raka adalah musuh Sumpah Pemuda. Bukan saja karena demi memuluskan jalannya, karpet merah bapaknya dibentangkan, di atasnya pemerkosaan konstitusi dengan bantuan pamannya di MK, berlangsung tanpa rasa malu, melainkan juga karena “karir politiknya selama ini meracuni pikiran anak-anak muda dengan moral penghalalan segala cara, dan pada saat yang sama membunuh harapan akan demokrasi yang lebih bersih kini dan nanti.”

28 Oktober 1928, di bawah bayang-bayang pemerintahan kolonial, para pemuda mengikrarkan nasionalisme sekuler yang melampaui kepentingan sektarian dan feodalisme. Mereka mempersatukan Indonesia melawan kolonialisme di atas spirit kebangsaan, bukan spirit agama, apalagi dinasti atau keluarga. Hari ini, Gibran adalah arus balik yang melawan sejarah. Gibran akan dicatat dalam sejarah sebagai simbol “kerusakan demokrasi Indonesia”, simbol “pengkhianatan sejarah bangsa”, dan “representasi keangkuhan para pemenang yang menikmati kemewahan melalui privilese orangtua atau kakek-nenek mereka”. Jika sejarah akan mencatatnya, sejarah pula yang akan mengadili Gibran (dan keluarga Jokowi).

Jika hari ini, masih ada klaim bahwa “Gibran adalah pembuka jalan bagi anak muda untuk memimpin bangsa”, argumen seperti itu adalah kesemberonoan. Karir politik Gibran yang mulus membuka lebar-lebar, sekali dan berkali-kali, potret ketimpangan anak-anak muda di Indonesia. Sebagian besar orang-orang muda di Indonesia berjuang dengan keringat darah untuk dapat mencapai puncak, itu pun sering berakhir dengan sia-sia. Faktanya, angka pengangguran, bunuh diri, dan kemiskinan orang muda di Indonesia makin meningkat. Hasil penelitian SMERU Institute 2019 membuktikan itu: anak-anak yang lahir dari keluarga miskin cenderung tetap miskin sampai dewasa, dengan penghasilan 87% lebih rendah di bawah anak-anak elit yang punya akses segalanya.

Sekali lagi, “Gibran bukan simbol kemerdekaan orang muda; tapi Gibran adalah simbol ketimpangan sosial, simbol para pemenang yang angkuh, dan simbol cacat moral yang menjangkiti mereka yang bertengger di atas.” Hari ini, hanya orang sakit jiwa yang menganggap Gibran adalah perwakilan kaum muda. Tidak. Gibran bukan wajah kaum muda Indonesia. Gibran adalah setapak tangan raksasa yang dengan pongah menampar dan mempermalukan wajah-wajah dekil jutaan anak-anak muda yang nasibnya tidak jelas di Indonesia. Gibran adalah anak muda tetapi fisiknya saja; psikologinya adalah psikologi elit-elit tua, pemain-pemain lama, yang haus kekuasaan, munafik, dan rakus. Sekali lagi, kita tak kuasa mengadilinya (siapalah kita orang-orang biasa ini??). Memang bukan kita, saudara-saudara, tetapi sejarah. Sejarah akan mengadilinya.

Bagi saya, mendukung Gibran adalah mendukung cacat moral dan cacat nalar demokrasi. Orang-orang muda yang mendukung Gibran adalah kumpulan para pemuja infantil yang kesadaran kritisnya sudah dikebiri. Gibran adalah salah satu musuh terbesar semangat sumpah pemuda hari ini. Gibran membalik sejarah, melawannya, mempecundanginya: apa yang kita sebut nasionalisme sipil hari ini, nasionalisme inklusif, sudah diruntuhkan oleh politik keluarga melalui berbagai skema nepotisme dan kejahatan-kejahatan lainnya. Gibran adalah salah satu pemain di dalamnya.

Jadi, saya mau katakan, dan maaf bila ini agak kasar: “Orang-orang muda yang mendukung Gibran hari ini gayanya saja yang milenial, otaknya masih kolonial dan feodal”. Jika hari ini Anda merayakan sumpah pemuda, itu adalah sumpah yang diucapkan dengan kesadaran penuh akan keIndonesiaan, dengan cinta yang bergelora akan kebangsaan. Bagaimana mungkin Anda mengucapkan sumpah yang sama hari ini sambil mendukung kekuatan-kekuatan yang merusak sumpah itu demi ambisi kuasa seperti Gibran? Bagiku, itu hanya akan menjadi pengkhianatan terbesar terhadap sejarah!***