KETIKA ROHANIAWAN BELAJAR MENULIS POLITIK

Penulis: P. Peter Tan SVD

Gibran Rakabuming Raka adalah musuh Sumpah Pemuda. Bukan saja karena demi memuluskan jalannya, karpet merah bapaknya dibentangkan, di atasnya pemerkosaan konstitusi dengan bantuan pamannya di MK, berlangsung tanpa rasa malu, melainkan juga karena “karir politiknya selama ini meracuni pikiran anak-anak muda dengan moral penghalalan segala cara, dan pada saat yang sama membunuh harapan akan demokrasi yang lebih bersih kini dan nanti.”

28 Oktober 1928, di bawah bayang-bayang pemerintahan kolonial, para pemuda mengikrarkan nasionalisme sekuler yang melampaui kepentingan sektarian dan feodalisme. Mereka mempersatukan Indonesia melawan kolonialisme di atas spirit kebangsaan, bukan spirit agama, apalagi dinasti atau keluarga. Hari ini, Gibran adalah arus balik yang melawan sejarah. Gibran akan dicatat dalam sejarah sebagai simbol “kerusakan demokrasi Indonesia”, simbol “pengkhianatan sejarah bangsa”, dan “representasi keangkuhan para pemenang yang menikmati kemewahan melalui privilese orangtua atau kakek-nenek mereka”. Jika sejarah akan mencatatnya, sejarah pula yang akan mengadili Gibran (dan keluarga Jokowi).