Relasi Hukum dengan Kekuasaan.
Indonesia adalah negara hukum dan bukan berdasarkan kekuasaan belaka.
Mengapa ada kata “dan bukan berdasarkan kekuasaan belaka?”
Kalau hanya negara hukum, misal si Anisontoloyo dinyatakan korupsi. Atau Lanteung dinyatakan merugikan negara 275 Triliun dari tambang timah illegal . Berarti Hakim harus perintahkan hasil kejahatan tersebut disita (untuk negara).
Jadi perlu ada Kekuasaan untuk melaksanakannya.
Contoh: Anda punya mobil porche. Kan perlu minimal remote control mengendalikannya. Atau mobil tersebut yang mengatur kapan dia pulang ke garasi?
Hukum tanpa kekuasaan ibarat pernikahan yang tak disertai dengan semua hubungan termasuk intim. Pria dan wanita tidur aja terpisah.
Hukum dan kekuasaan itu satu paket. Kekuasaan itu ada aturannya.
Jangan seperti dalam pertandingan smack down, penonton bisa datang dari luar ring menggebuk pemain. Atau bahkan menggebuk wasit atau wasit yang membanting pemain.
Law and Order itu sejoli. Harus seia sekata.
Misal: hukum menentukan Hs pemilik sah 1/4 tanah Samosir, sejauh seruling HS bisa terdengar walau ada alogo (angin) dari Pusuk Buhit atau Tele.
Perlulah minimal Tunggani Huta menguatkannya baik setelah kenyang makan dan minum tuak takkasan.
Hukum jika tidak jelas atau diributkan seperti dalam putusan MK No 90, harus dilihat dari kaca mata tembus pandang ke Indonesia Maju. Jangan terbelenggu aliran kadal yang ngotot cawapres harus berusia 40 tahun. Ini tidak nalar.
Hakim MK boleh berkereasi menentukan usia 36 juga boleh dengan atau tanpa syarat tambahan…karena usia di zaman now tidak korelatif dengan kecerdasan berpikir. Banyak orang tua dungu. Banyak anak usia 18 bisa PhD.
Negara lain Presifennya 35 tahun kok
So what should be the rule? Or what ought to be the rule.
Should bicara kepantasan . Ought bicara kepatutan.
Jadi yang tepat adalah: what shall be the law
Law itu bukan barang kaku. Ia lentur tapi kuat.
Perlu tiang panjangnya. Itulah Power
Power without Rule is Zolim
Law without Power is Bencong
Jakarta, 30.3.24
H S