SEJARAH PEMILU 1997: USAHA GAGAL MELANGGENGKAN KEKUASAAN SOEHARTO

Mengutip dari tirto.id Pemilihan Umum 1997 adalah pemilu keenam di masa Orde Baru dan pemilu ketujuh yang digelar Indonesia. Tak ada perubahan berarti dalam sistem pemilu kali ini. Sama seperti pemilu-pemilu sebelumnya, Pemilu 1997 dilaksanakan untuk memilih anggota DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kotamadya. Yang berbeda dari Pemilu 1997 dibanding pemilu-pemilu sebelumnya adalah kian pekatnya atmosfer protes di masyarakat terhadap rezim Soeharto. Orde Baru sedang berada dalam titik jenuhnya. Situasi ini membuat PPP dan PDI lebih leluasa melontarkan kritik selama kampanye. Selain korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang kian kentara di tubuh rezim, sumber protes lain adalah peran politik ABRI. Masyarakat menganggap tingkat represi tentara kian meningkat sejalan dengan peran politiknya yang menguat. Apalagi kelompok ini menduduki 100 dari 500 kursi di DPR. Karenanya rezim Soeharto berusaha meredam protes itu dengan menerbitkan UU no. 5/1995 tentang Susunan dan Kedudukan MPR baru. Dalam UU terbaru ini jumlah kursi ABRI di DPR dikurangi, dari 100 menjadi 75. Tetapi, selain ini tak ada perubahan apapun yang mengarah kepada demokratisasi. “Dalam praktek, pemerintah masih saja berat kepada Golkar. Aparat pemerintah tetap mengemban misi memenangkan Golkar, sehingga berbagai rekayasa yang berbau kekerasan politik terus berlangsung,” tulis Tim KPU dalam Pemilihan Umum 1997: Perkiraan, Harapan, dan Evaluasi (1997: 162).

Meski PPP dan PDI dinggap lebih berani menyuarakan kritik atas pemerintahan, pada masa kampanye suara mereka datar-datar saja. Golkar tetap mengulang materi kampanye tentang pembangunan dan klaim prestasi semu pemerintah. PPP dan PDI tentu saja mengkritiknya, terutama soal penyakit KKN yang akut. “Tetapi penguraian lebih jauh tentang bagaimana proses pembaruan dan atau perubahan ini akan dilaksanakan tampaknya tidak terungkap dalam pemberitaan media massa, atau memang ketiga OPP belum mempunyai konsep tentang cara dan ke mana arah proses pembaruan dan atau perubahan akan dilangsungkan. Akibatnya, terkesan ketiga OPP hanya mengumbar janji-janji yang sloganistis,” tulis J. Kristiadi dan kawan-kawan dalam Pemilihan Umum 1997: Perkiraan, Harapan, dan Evaluasi (hlm. 82). Dinamika kampanye Pemilu 1997 ini terutama disebabkan oleh dua hal: meningkatnya kerusuhan dan munculnya “koalisi” Mega-Bintang. Seturut pindaian J. Kristiadi dan kawan-kawan, kekerasan dan keberingasan massa meningkat kala kampanye memasuki putaran-putaran terakhir. Insiden sering terjadi di antara massa pendukung OPP atau bahkan antara massa dan aparat keamanan. Kerusuhan massal yang cukup besar terjadi di Jakarta, Tangerang, Bangil, dan Banjarmasin. Sementara itu fenomena Mega-Bintang mulanya disulut oleh pecahnya internal PDI, antara PDI Soerjadi dan PDI Megawati. Ada isu yang santer bahwa PDI Megawati mendekat ke PPP dan mengalihkan suaranya ke partai berlambang bintang itu. Meski demikian, antusiasme atas munculnya isu koalisi ini tampak hanya terjadi di Jawa. Pimpinan pusat PPP pun menolak secara resmi adanya koalisi ini.

Golkar Menang Lagi, Soeharto Maju Lagi