Pemungutan suara diselenggarakan pada 29 Mei 1997. Seturut data dari Tim KPU (hlm. 164), Golkar kembali ke puncak dengan perolehan suara nasional 74,51 persen. PPP berada di urutan kedua dengan membukukan 22,43 persen. Sementara itu PDI yang dilanda pepecahan internal merosot drastis dengan hanya meraup 3,06 persen. Dari hasil itu tentu kentara bahwa rezim Soeharto masih akan pegang kendali. Pendukung rezim membaca hasil pemilu itu sebagai “pemberian mandat” kepada Golkar untuk meneruskan programnya. Karenanya, J. Kristiadi menyebut bahwa yang bernilai dari Pemilu 1997 bukanlah hasilnya, tapi dinamika protes yang terjadi selama masa kampanye dan pemungutan suara. “Justru perhatian perlu ditujukan lebih kepada substansi gejolak dan protes daripada kepada hasil Pemilu. Dalam kondisi negara Indonesia saat ini, gejolak dan protes merupakan penyataan jujur mengenai tuntutan dan harapan publik,” tulis J. Kristiadi dan kawan-kawan (hlm. 182). Usai pemilu, ketika DPR baru terbentuk, Indonesia dihantam krisis moneter. Dari masalah ekonomi, krisis itu lantas merembet jadi krisis politik. Segala protes dan tuntutan reformasi kian menguat sepanjang paruh kedua 1997. Apalagi rezim Soeharto gagal mengatasi krisis ekonomi itu.
Di tengah kondisi kalut macam itu komposisi DPR yang mayoritas dikuasai Golkar hendak melanggengkan kekuasaan Soeharto. Protes dan tuntutan reformasi hanya pepesan kosong bagi Golkar. Tapi justru gara-gara usaha-usaha tersebut, Soeharto semakin kehilangan daya politiknya. Itu semakin terlihat memasuki Maret 1998. Ketika nilai tukar rupiah terus melejit dan harga sembako melambung, Golkar kembali mencalonkan Soeharto sebagai presiden. Pada awal 1997 Soeharto sempat memberi isyarat “pensiun”. Terlepas dari benar-tidaknya isyarat itu, Golkar kemudian mengadakan penjaringan aspirasi dari kepengurusan tingkat pusat hingga daerah. Gampang diduga, keluarga besar Golkar satu suara mendorong Soeharto lagi. “Semua surat pernyataan dukungan yang menumpuk di DPP Golkar hanya menyebut satu nama yaitu Haji Mohammad Soeharto,” tutur Harmoko yang juga ketua MPR/DPR sebagaimana dikutip Republika (21/1/1998). Soeharto kemudian menyatakan bersedia mencalonkan diri lagi untuk dipilih pada Sidang Umum MPR yang akan dilangsungkan pada Maret 1998. Ia juga mengisyaratkan agar Habibie dimajukan sebagai calon wakil presiden. Namun, berbeda dari yang dulu-dulu, reaksi publik kali ini negatif.
Akhirnya Tumbang Juga