SEJARAH PEMILU 1997: USAHA GAGAL MELANGGENGKAN KEKUASAAN SOEHARTO

Republika mencatat bersamaan dengan pengumuman pencalonan itu kurs rupiah jadi makin anjlok. Di pasar antarbank, nilai tukar rupiah menembus angka psikologis Rp10.000 per dolar AS. “Di tempat penukaran uang (money changer), posisi rupiah lebih mengenaskan lagi. Di kantor cabang BDNI Sudirman, dolar AS diperdagangkan Rp11.000, untuk posisi jual. Kurs belinya juga di bawah Rp10.000,” tulis Republika. Pengumuman pencalonan Soeharto bukan sebab tunggal. Pelaku pasar masih belum percaya pada paket reformasi yang dibikin IMF dan Pemerintah. Secara lebih luas, masyarakat tak percaya Soeharto bisa mengatasi krisis, baik ekonomi maupun politik. Karenanya, suara yang menginginkan reformasi pun kian santer. “Reformasi apa pun di bidang ekonomi kalau tidak disertai dengan reformasi sosial politik, dia akan gagal lagi. Tiga puluh tahun yang kita alami telah membuktikan hal itu dengan jelas,” ujar cendekiawan Nurcholish Madjid sebagaimana dikutip Kompas (5/2/1998).

Krisis kian memuncak pada pertengahan Maret. Pada 10 Maret Sidang Umum MPR memilih Soeharto dan Habibie sebagai presiden dan wapres untuk periode 1998-2003. Esoknya, mahasiswa di Yogyakarta menyambut pelantikan Soeharto dengan unjuk rasa. Republika (12/3/1998) melaporkan unjuk rasa itu dihadiri sekira 30.000 mahasiswa. Demonstrasi di kampus UGM itu diwarnai seruan-seruan dibentuknya pemerintahan yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Aksi serupa—yang berakhir bentrok—terjadi pula di Surabaya dan Solo. Ketidakpuasan publik kian mengemuka kala Soeharto mengumumkan Kabinet Pembangunan VII. Ketika tuntutan reformasi kian keras, Soeharto justru mendudukkan keluarga dan kroninya dalam kabinet. Sebutlah Tutut—putri tertua Soeharto—yang menduduki jabatan menteri sosial dan Bob Hasan yang mendapat jatah sebagai menteri perdagangan

Sejak itu demonstrasi dan protes semakin sering mengisi halaman media. Pun demikian dengan segala macam kerusuhan. Pada awal Mei sebuah kerusuhan cukup besar pecah di Medan. Lalu terjadilah, pada 12 Mei, sebuah peristiwa yang menjadi lonceng keruntuhan rezim Soeharto: penembakan empat mahasiswa Trisakti. “Pembunuhan mahasiswa Trisakti merupakan titik balik. Kematian mereka, bersama dengan keruntuhan ekonomi, kebrutalan ABRI, korupsi rezim, dan kemustahilan akan adanya reformasi, telah memporak-porandakan benteng terakhir keabsahan rezim dan ketertiban sosial,” tulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2008: 652). Akhirnya, pada 21 Mei 1998, Soeharto tumbang.