tirto.id – Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) era 1990-an diwarnai isu adanya kelompok yang disebut ABRI Merah-Putih dan ABRI Hijau. Pelabelan macam itu memang problematis. Menurut Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016), “[…] label serta isu ABRI Hijau versus ABRI Merah-Putih adalah sesuatu yang mengada-ada, menyesatkan dan kemudian dengan cepat berlalu” (hlm. 154-155).
Meski demikian, isu tersebut santer terdengar dalam percakapan politik zaman Orde Baru dan menjadi wacana yang diperdebatkan secara akademis. Aktor-aktor yang terlibat di dalamnya pun banyak yang turut buka suara setelah Soeharto tumbang. ABRI Merah-Putih identik dengan sosok Jenderal Leonardus Benjamin Moerdani alias Benny Moerdani. Panglima ABRI dari 1983 hingga 1988 itu terkenal angker bagi orang-orang Islam di Indonesia.
Namanya kerap dikaitkan dengan Peristiwa Tanjung Priok (1984) dan bahkan dituduh punya rencana tersembunyi menghabisi gerakan Islam. Karena itu, Benny kerap dicap anti-Islam. Ia tentu tak sendirian. Ada Mayor Jenderal Sintong Panjaitan yang dianggap sebagai “orangnya Benny”. “Saya bukan orangnya Pak Benny.
Tetapi karena Pak Benny menjabat Panglima ABRI, saya orangnya Panglima ABRI,” aku Sintong dalam buku biografinya yang disusun Hendro Subroto, Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009: 464). Sintong juga mengaku dirinya lebih dekat dengan Try Sutrisno, kawan lama Benny.
Ia dekat pula dengan sesama alumni Akademi Militer Nasional (AMN) yang lebih senior, seperti Edy Sudradjat (yang juga dicap sebagai orangnya Benny) dan Feisal Tanjung (yang dianggap bukan orangnya Benny). Tentang Sintong, Salim Said menyebut, “[…] menurut cerita teman-teman dekatnya, sebenarnya hanya seorang serdadu profesional yang bersahaja dan apolitis.”